Mencari Peluang ke Maroko
Oleh:
Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat
BERDASARKAN data statistik BPS (Badan Pusat Statistik) Sumbar yang tertuang dalam _“Provinsi Sumatera Barat dalam Angka 2017”,_ kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Sumbar merupakan yang tertinggi yaitu 24,06%. Kemudian disusul kontribusi sektor perdagangan sebesar 14,90%.
Melihat besarnya kontribusi sektor pertanian ini, maka di dalamnya juga terkait dengan luas wilayah pertanian serta jumlah tenaga kerja. Tak salah jika Sumbar disebut sebagai provinsi pertanian. Di mana, pemerintah provinsi dan juga kabupaten/kota berkepentingan menyukseskan pembangunan bidang pertanian.
Untuk itu Pemprov Sumbar berkomitmen untuk mencapai swasembada pangan. Dan juga berkomitmen menjadi lumbung pangan nasional. Maka ketika berbicara tentang produktivitas, beberapa produk pertanian sudah ada yang surplus.Terkait pencapaian ini, beberapa penghargaan bidang pertanian telah diberikan oleh pemerintah sebagai apresiasi terhadap capaian tersebut.
Pemprov Sumbar bersama pemkab/kota dalam rangka mendukung pembangunan sektor pertanian, bergerak di dua titik. Yaitu di hulu dan hilir. Di hulu, dilakukan penambahan lahan pertanian diiringi peningkatan kualitas serta kuantitas produk. Seperti melakukan cetak sawah baru, meningkatkan kualitas produk melalui penyediaan benih unggul, pemberian pupuk dan perbaikan pola tanam.
Indeks pertanaman diharapkan bisa lebih dari dua kali setahun, dan hasil panen perhektare diharapkan bisa mencapai lebih dari 5 ton. Dengan hal ini, alhamdulillah kualitas dan kuantitas produk pertanian menjadi semakin baik. Dengan kegiatan tersebut, bisa dicapai surplus pangan, sehingga tercipta ketahanan pangan. Hal demikian juga turut menjadikan petani makin sejahtera.
Di hilir, kami pun berusaha meningkatkan nilai tambah produk pertanian dan perkebunan pascapanen. Karena jika dijual sebagai bahan mentah, harga yang didapatkan petani tidak bisa diharapkan meningkat. Tapi jika ditingkatkan nilainya, akan meningkatkan pendapatan. Karena itu, dengan meningkatkan nilai tambah produk yang ada akan memberikan dampak positif berupa multiplier effect. Misalnya, fermentasi cokelat hingga pengemasan dan penyimpanan akan meningkatkan harganya hingga beberapa kali lipat. Kemudian, pendirian pabrik pengolahan cokelat akan menyediakan lapangan kerja dan pemasukan bagi daerah.
Selain cokelat, contoh lainnya adalah kelapa sawit. Produk ini terbukti bisa menyerap tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan. Dengan adanya pola kemitraan perusahaan inti dengan petani plasma bisa memperbaiki pendapatan petani lebih baik. Demikian pula halnya dengan karet.
Selain itu, kami juga berusaha meningkatkan nilai tambah gambir. Selama ini Indonesia merupakan eksportir gambir terbesar di dunia. Di mana nilai ekspor dari Sumbar merupakan yang terbesar. Maka bisa dikatakan bahwa Sumbar adalah pengekspor gambir terbesar di dunia.
Namun, selama ini terjadi pasang surut ekspor gambir, sehingga gambir tidak memberikan keuntungan kepada masyarakat. Apalagi selama ini gambir dijual atau diekspor dalam bentuk produk mentah. India merupakan pembeli terbesar atau yang mendominasi, sehingga terjadi semacam pembeli yang cenderung monopoli. Hal ini menyebabkan pembeli bisa mengatur harga, akibatnya harga gambir menjadi rendah. Petani pun tidak mendapatkan keuntungan. Maka, jika ingin meningkatkan harga gambir, perlu ditingkatkan nilai tambahnya, termasuk membangun industri, dan mencari pasar baru agar harga lebih baik.
Pada akhir Juni 2018 lalu, saya bersama tim Sumbar untuk investasi, perdagangan dan budaya melakukan kunjungan kerja ke Maroko. Salah satu agenda yang kami lakukan adalah menawarkan Maroko untuk membeli gambir, rempah-rempah dan produk perkebunan lainnya dari Sumbar. Hal ini diperlukan agar ada negara lain yang juga membeli gambir dan rempah-rempah dari Sumbar sehingga harganya bisa bersaing dan memberikan keuntungan kepada petani di Sumbar. Dengan demikian, tidak ada lagi yang menjadi pengatur harga semaunya.
Banyak hal yang kami tawarkan kepada Maroko, Yaitu: kayu manis, cengkeh, tangkai cengkeh, buah pala, bunga pala, merica hitam, merica putih, kopi arabika, kopi robusta, pinang, biji cokelat, damar mata kucing, damar batu, kacang mede. Kemudian produk lainnya yang ditawarkan adalah: minyak nilam, minyak sereh wangi, minyak cengkeh, minyak jerut purut, minyak pala.
Produk yang disebutkan di atas tersebut, selama ini ternyata dibeli oleh Maroko dari Belanda, Spanyol dan Italia (Eropa). Padahal produk tersebut bisa saja berasal dari Indonesia atau Sumbar. Dan kemudian dijual ke Maroko. Maka kami membuka peluang kepada Maroko untuk membeli langsung dari Sumbar. Karena harganya bisa lebih murah dari yang dibeli dari negara Eropa, dan petani pun bisa mendapat untung dengan menjual dengan harga bersaing. Jika ini bisa terealisasi, insya Allah para petani atau pekebun produk-produk tersebut bisa semakin baik kesejahteraannya.
Alhamdulillah, ketika kami di Maroko sudah terjadi transaksi jual beli antara pengusaha dari Indonesia dengan pengusaha Maroko. Dan ini akan ditingkatkan dengan peran Kadin (kamar dagang dan industri) Maroko untuk menggalang pengusaha Maroko agar bisa membeli langsung ke Sumbar. Harapannya, hal ini akan saling menguntungkan bagi masing-masing pihak. Salah satu harapannya juga, pihak Maroko membuka industrinya di Sumbar untuk melakukan pengolahan. Sehingga turut memberikan dampak positif kepada petani.
Semoga upaya yang kami lakukan ini bisa mengangkat harkat dan martabat petani gambir dan rempah-rempah di Sumbar, serta produk lainnya. Sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan lebih baik lagi. Hal ini membutuhkan kerja keras, kesungguhan, dan kebersamaan dari berbagai pihak terkait.
Tidak ada komentar